6/13/2025

Manusia Sebagai Khalifah: Amanah Ilahiah dalam Bayang-Bayang Kerusakan dan Kekerasan


Ketika Allah SWT berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi" para malaikat merespon dengan penuh keheranan: "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" (QS. Al-Baqarah: 30). Dialog ini bukan bentuk pembangkangan malaikat, namun ekspresi rasa ingin tahu yang dalam atas keputusan ilahi yang tampaknya paradoksal—menyerahkan amanah suci kepada makhluk yang berpotensi merusak bumi dan saling membunuh.


Dan faktanya, sejarah membenarkan kekhawatiran malaikat. Manusia, dengan segala kecerdasannya, justru sering menjadikan bumi ladang eksploitasi, konflik, dan kekerasan. Dari perang dunia yang meluluhlantakkan jutaan jiwa, hingga krisis iklim global akibat kerakusan industri dan ketamakan ekonomi—jejak-jejak kerusakan itu nyata dan masih berlangsung.


Kerusakan Bumi: Kekhalifahan yang Dilupakan


Krisis lingkungan hari ini menjadi bukti nyata bagaimana manusia abai terhadap perannya sebagai khalifah. Hutan tropis ditebang, lautan tercemar limbah plastik, udara dipenuhi karbon dari kendaraan dan pabrik. Tambang nikel, emas, dan batu bara menggali isi perut bumi tanpa memperhatikan kelestariannya, seperti yang terjadi di banyak tempat, termasuk Indonesia. Pencemaran, perubahan iklim, dan kepunahan spesies adalah akibat langsung dari ulah manusia yang lupa bahwa kekuasaan atas bumi datang bersama amanah, bukan kebebasan absolut.


Padahal, Allah telah memperingatkan dalam QS. Ar-Rum: 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia..." Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan bukanlah takdir, melainkan pilihan yang lahir dari ketidakmampuan manusia menjaga keseimbangan yang Allah tetapkan.


Menumpahkan Darah: Kekerasan yang Tak Pernah Usai


Selain kerusakan, malaikat juga menyebut sifat manusia yang senang menumpahkan darah. Dan hari ini, dunia menyaksikan berbagai konflik berdarah dari Gaza, Ukraina, hingga kekerasan atas nama agama, politik, dan ras. Bahkan dalam skala kecil, kekerasan hadir dalam rumah tangga, sekolah, hingga dunia maya—melalui perundungan digital, ujaran kebencian, dan cancel culture yang membunuh karakter seseorang.


Manusia sering kali menjadikan kekuasaan, perbedaan, atau sekadar ego sebagai alasan untuk menindas dan mencederai sesamanya. Padahal, Allah menciptakan manusia dalam keragaman untuk saling mengenal, bukan saling meniadakan (QS. Al-Hujurat: 13).


Tapi Allah Tahu Apa yang Tidak Diketahui Malaikat


Namun Allah menutup perdebatan itu dengan satu kalimat agung: *"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."* Kalimat ini menjadi jembatan harapan. Di balik potensi destruktifnya, manusia juga memiliki potensi besar untuk membangun, mencipta, dan merawat. Dari manusia lahir peradaban, ilmu pengetahuan, seni, dan kasih sayang. Manusia bisa menjadi hamba yang paling rendah, tetapi juga bisa naik menjadi makhluk yang lebih mulia dari malaikat, ketika ia mampu menjalankan amanah sebagai khalifah dengan penuh tanggung jawab.


Refleksi Kekinian: Sudahkah Kita Menjalankan Peran sebagai Khalifah?


Pertanyaan besar bagi kita hari ini adalah: apakah kita sedang menjadi khalifah yang Allah ridai, atau justru menjadi makhluk yang membenarkan kekhawatiran para malaikat?


Menjadi khalifah bukan tentang memegang kuasa, tapi tentang merawat bumi, menegakkan keadilan, dan menjaga perdamaian. Itu berarti menolak menjadi bagian dari sistem yang merusak lingkungan, menolak ikut dalam siklus kekerasan, dan aktif menghadirkan kebaikan di manapun kita berada. Bahkan sekecil menjaga kebersihan, menanam pohon, hingga berkata baik di media sosial adalah bagian dari implementasi kekhalifahan itu.


Manusia memang memiliki dua sisi: konstruktif dan destruktif. Tapi Allah memberi kita akal, hati nurani, dan petunjuk untuk memilih jalan yang benar. Jika kita ingin tetap layak menyandang gelar khalifah, maka sudah saatnya kita kembali kepada fitrah sebagai penjaga bumi, bukan perusaknya; sebagai pembawa damai, bukan penumpah darah. Sebab amanah ini bukan sekadar tugas, tapi juga penentu derajat kita di sisi Allah SWT. 


Anda hebat, telah menambah wawasan dan ilmu. Ayo teruskan di artikel berikutnya

No comments:

Urgensi Kepemimpinan dalam Islam: Antara Tuntutan Syariat dan Realitas Umat

Kematian Rasulullah SAW adalah peristiwa yang mengguncang kaum Muslimin. Namun yang menarik, para sahabat tidak langsung menguburkan jenazah...